Suatu hari ada seorang sahabat datang ke rumah Abu Dzar al-Ghifari (W. 32 H), Sahabat tersebut melihat di setiap sudut rumah. Ia tidak menemukan apa-apa di sana; kemudian ia bertanya kepada Abu Dzar, “Wahai Abu Dzar, di mana kau menyimpan barang-barangmu?” Jawab Abu Dzar, “Kami mempunyai rumah yang lain (nanti di akhirat in sya Allah), barang-barang kami yang paling bagus telah kami kirimkan ke sana.” Orang tersebut memahami maksud Abu Dzar. Ia berkata pula, “Tapi bukankah engkau memerlukan juga barang-barang itu di rumah ini?” Tapi yang punya rumah (Allah), tidak membolehkan kami tinggal di sini (di dunia) selama-lamanya,” jawab Abu Dzar.
Bukankah Allah SWT telah berfirman:
“Wahai kaumku! Sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah kesenangan (sementara) dan sesungguhnya akhirat itulah negeri yang kekal,” (QS. al-Mu’min: 39).
Selanjutnya Abu Dzar berkata “Apa urusan saya dengan dunia? Perumpamaan diriku dengan dunia tidak lain seperti orang yang berkendara di suatu hari di musim panas, lalu ia berteduh di bawah sebuah pohon, kemudian ia pergi dan meninggalkannya.” (H.R. Imam at-Tirmidzi dalam sunannya, Jilid: 3/125).
Suatu hari juga diceritakan, bibi dari khalifah Umar bin Abdul Aziz (W. 101 H) datang, beliau ingin mengadukan perbuatan Umar yang tidak seperti para pendahulunya dalam memberikan tunjangan. Sang bibi masuk menemui Umar diruanganya, ternyata Umar sedang makan malam dengan beberapa potong roti, garam, dan minyak. Kemudian sang bibi berkata, “Wahai Amirul Mukminin, sebenarnya saya datang ke sini karena ingin meminta suatu kebutuhan. Namun, saat melihatmu, saya merasa harus memenuhi kebutuhanmu dahulu sebelum kebutuhanku.” Umar bertanya, “Kebutuhan apa itu, wahai Bibi?” Sang Bibi menjawab, “Bagaimana jika saya mengambilkan makanan untukmu yang lebih lezat dari yang kamu makan itu?” Umar menjawab, “Wahai Bibi, seandainya saya punya makanan yang lebih lezat dari ini, tentu saya sudah memakannya.”
Bibinya berkata, “Wahai Amirul Mukminin, dulu saat pamanmu, Abdul Malik, menjabat sebagai khalifah, ia memberiku ini dan itu. Kemudian pada saat jabatan khalifah dipegang saudaramu, al-Walid, ia menambahkan lagi dari apa yang sebelumnya telah diberikan kepadaku. Namun, saat engkau menjabat sebagai khalifah, engkau menghentikan tunjangan itu kepadaku.” Umar berkata, “Wahai Bibi, dahulu paman begitu juga Abdul Malik, dan kedua saudaraku, al-Walid dan Sulaiman memberikan tunjangan kepadamu dengan mengambil dari harta kaum Muslimin. Harta itu bukan bukanlah milik saya, sehingga saya tidak berani memberikannya kepadamu. Akan tetapi, jika engkau mau, saya akan memberikan tunjangan kepadamu dengan mengambil dari hartaku sendiri.”
Sang Bibi bertanya, “Seberapa banyak itu, wahai Amirul Mukminin?” Umar menjawab, “Dua ratus dinar, apakah Bibi mau menerimanya?” Bibinya berkata, “Hanya segitu, bagaimana bisa mencukupi kebutuhanku?” Umar menjawab, “Wahai Bibi, hanya itu yang aku punya.” Mendengar jawaban Umar, bibinya pun keluar dari tempat Umar.
Maslamah bin Abdul Malik (W. 121 H) pun pernah bercerita, “Saya menemui Umar dan kulihat bajunya kotor, lalu kupanggil istrinya dan saya meminta untuk mencucikan bajunya. Istrinya menjawab, ‘Sudah kami lakukan.’ Pada waktu yang lain saya kembali menemui Umar sedangkan bajunya seperti sedia kala. Kemudian saya sampaikan lagi kepada istrinya. Istrinya menjawab, ‘Demi Allah, ia tidak mempunyai selain baju yang ia pakai itu. Istrinya sampai mengatakan, ‘Engkau ini Amirul Mukminin tapi kamu sendiri tidak mampu terhadap satu dirham saja?’ Umar berkata, ‘Ini lebih muda bagiku dari pada menghadapi panasnya neraka jahanam.’’ (Lihat: Sahirul Layali Fi Riyadlil Jannah, Hal: 297).
Begitulah seorang Umar Ibn Abdul Aziz bukan hanya sebagai seorang khilafah tapi beliau juga dikenal sebagai seorang Ulama dan Waliyyullah yang sederhana dan wara’.
Semoga kelak Allah mengumpulkan kita dengan orang-orang shaleh Aamien Allahumma Aamien. Al-Faqir Ila Allah, ZA.