Terkadang hidup itu sawang sinawang (saling melihat antar sesama), sehingga jamak diartikan kebahagiaan adalah mempunyai materi yang melimpah. Padahal hal ini belum tentu, karena kebahagiaan bukan berbentuk materi akan tetapi non-materi yang bersemanyam dalam hati yang berbentuk “ketenangan”. Rasulullah bersabda,
ﺇنَّ اﻟسَّعَادَةَ كُلَّ السَّعَادَةِ طُوْلُ العُمْرِ فِيْ طَاعَةِ اللهِ
Kebahagiaan yang sesungguhnya adalah menghabiskan umur untuk ta’at kepada Allah. (HR. Ad-Dailamy dalam musnadnya, Jilid: 3/346).
Maka kuncinya adalah mendahulukan dan mengutamakan hak Sang Pencipta (Allah ‘Azza Wajalla), niscaya Allah mendahulukan hak kita. Umar Ibn Khattab berpesan,
مَنْ يُخْلِصُ نِيَّتَهُ فِيْمَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ اللهِ تَبَارَكَ وَتَعَالىَ وَلَوْ عَلىَ نَفْسِهِ يَكْفِه الله مَا بَيْنَهُ وَبَيْن النَّاسِ
Siapa yang tujuannya tulus karena Allah Tabaroka Wa Ta’ala walau terhadap dirinya sendiri, maka Allah akan mencukupkan antara dirinya dengan manusia (artinya Allah akan memperbaiki hubungannya dengan sesama). (Lihat: al-Bayan wa at-Tabyin, Jilid: 2/49).
Mendahulukan hak Allah membutuhkan perjuangan, maka diperlukan keinginan yang kuat di dalam hati untuk menunaikannya. Semoga Allah menjaga kita dan senantiasa memudahkan langkah kita untuk istiqamah di jalan-Nya, Aamien Allahumma Aamien.